selamat datang dan terima kasih atas kunjungannya

Selasa, 02 Februari 2010

Kekurangan yang Membentuk Kemandirian

Kadang, terlihat lelah di wajahmu
Kadang, terlihat senyum di bibirmu
Kadang, terlihat marah di matamu

Ummi, oh aku sayang padamu Terlalu sulit kata-kata kuucapkan untukmu
Ummi, hanya Allah yang dapat membalas kebaikanmu Sabar ya
Ummi, mudah-mudahan surgalah tempatmu

Dari anakmu Naura

(Naura, 6 tahun, Kelas 1 SD)

Puisi di atas adalah milik Naura. Usianya baru enam tahun. Masih duduk di kelas satu SD. Kakak dari seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun, itu adalah gadis kecil yang 'dewasa' dalam pandangan saya. Dalam usianya yang masih anak-anak, dia telah melakukan banyak hal yang tak dilakukan oleh rekan-rekan sebayanya. Ibundanya bukanlah wanita karir sebagaimana 'karir' dalam persepsi banyak orang. Bahkan sang Ibu keluar dari pekerjaan kantornya, namun ia berkarir dalam dakwah dan pendidikan anak usia sekolah. Pilihan itu, meski tidak lagi bekerja kantoran, membuatnya jadi harus sering meninggalkan kedua anaknya berdua saja, tanpa pengasuh. Tidak juga dengan bantuan keluarga, karena Ayah dan Bunda Naura berasal dari kota yang jauh dari tempat tinggal mereka saat ini. Sering ditinggalkan oleh ibunya telah membuat Naura menjadi dewasa dan mandiri. Setiap hari sang Bunda 'mendidiknya' dengan catatan di kertas: "makan siang ada di lemari". "Selesai makan jangan lupa bobok siang dan belajar". "Nanti kalau sudah jam 3 mandi, sekalian mandikan adiknya ya". Dengan itu semua, dia belajar mandiri. Usianya baru enam tahun, dan dia telah terampil mengurus diri dan adiknya.

Hal ini juga berlaku pada Hasan dan Azka, dua orang kakak beradik yang ditinggal ibunya bekerja. Karena tidak punya pengasuh, keduanya setiap pulang sekolah menghabiskan waktu berdua, hanya dalam pengawasan tetangga sebelah, ibu dari teman bermain mereka. Awal-awal mereka harus menjalani kesendirian ini membuat mereka tidak berani berdiam di rumah jika bundanya belum pulang. Namun lama-lama sang kakak beradaptasi dengan cepat dan terampil. Dia memimpin adiknya untuk makan dan tidur siang, bahkan kemudian memandikannya, hingga ketika sang bunda pulang, cowok kecil kelas dua SD itu dan adiknya telah rapi. Ya, sang ibu adalah pegawai kantoran yang tiap hari harus meninggalkan mereka, demi mendapat tambahan nafkah dan berbakti pada negara atas beasiswa yang diterimanya dulu.

Bahkan, mengingat masa lalu saya sendiri, sifat kemandirian dan kepemimpinan yang lekat dalam diri saya kini, adalah tak lepas dari kondisi yang saya jalani ketika saya kecil. Saya sudah harus memasak dan berbenah rumah di usia saya yang kelas dua SD, karena ibu saya bekerja menjadi buruh harian, bahkan sejak saya berusia dua bulan.

Lebih banyak tinggal di rumah, mendampingi dan mendidik anak-anak dalam usia SD apalagi balita barangkali merupakan kondisi ideal yang dianjurkan oleh agama dan pakar pendidikan anak juga diharapkan hati terdalam seorang ibu. Siapa yang tak ingin? Namun realitas hidup seringkali berbeda. Dengan sebab utama 'membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga' atau 'menyumbangkan kapasitas diri untuk menjalankan tugas kekhilafahan manusia dan menyebarkan kebaikan bagi ummat' seorang ibu seringkali harus banyak keluar rumah dan meninggalkan anak-anaknya. Tentu saja, pada rentang tertentu hal ini akan menimbulkan rasa bersalah bagi sang bunda, dan juga konsekuensi kurang di beberapa sisi pengasuhan dan pendidikan anak.
Kurang waktu bermain penuh kasih sayang bersama ibu misalnya. Namun di sisi lain, hal ini memiliki banyak keuntungan. Banyak fakta menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak selalu didampingi ibunya tumbuh lebih matang secara emosi, dewasa dan mandiri dibanding dengan mereka yang selalu diasisteni dan ditemani Ibunya dalam segala hal. Seperti Naura, Rahman, Hasan dan Azka yang mandiri di usia mereka yang masih sangat belia.

Karena itu, sesungguhnya 'berkarir' di luar rumah bagi seorang ibu tidak selayaknya selalu disikapi dengan negatif. Selama sang Ibu memahami dan menghayati, bahwa ia, dalam kondisi bagaimanapun, mesti menomorwahidkan pendidikan dan pengasuhan anak. Selama sang bunda memahami dan menghayati bahwa tugas di luar rumah dan pendidikan anak adalah satu hal yang saling mendukung dan perlu disinkronkan. InsyaAllah, pendidikan dan pengasuhan anak masih tetap dapat dioptimalkan, dan di dapatkan pahala dan nilai tambahan dari keluar rumahnya sang bunda.
Dan percayalah, jika 'keluar rumahnya' seorang ibu adalah untuk sebuah alasan yang benar, dapat diterima secara nurani oleh orang dewasa maupun anak-anak, sang ibu tidak akan kehilangan cinta, kepatuhan dan penghargaan dari anak-anaknya. Seperti Naura yang tetap mencintai dan mengagumi, bahkan menghadiahi sang Bunda dengan sebuah puisi indah. Seperti Hasan yang menyambut kedatangan ibunya dengan penuh sukacita. Seperti saya yang selalu menatap Ibu penuh cinta dan kekaguman, atas keperkasaan yang tak lekang ia tunjukkan sepanjang usia saya. Seperti banyak anak lain, yang saya percaya, akan memahami, mencintai, dan mengagumi 'perjuangan' sang Ibu.

1 komentar: