selamat datang dan terima kasih atas kunjungannya

Senin, 06 Februari 2012

surat rindu dari mama


Dearest My Little Princess Bella,

Apa kabarmu sayang? 
Bagaimana di sana?
Apakah para malaikat mengurusmu dengan baik? 
Apakah mereka memberimu kebahagiaan sama seperti Mama dan Papa? 
Apakah kau tak kangen pada kami? 
Semoga kau bahagia di sisi Allah, anakku sayang. Titip salam Mama dan katakan terima kasih karena cintaNya pada kami di sini sehingga kami banyak belajar dari kehilanganmu.

Rasanya baru kemarin ya sayang, musibah yang merenggutmu dari pelukan Mama. Lima tahun sudah berlalu, tapi bagi Mama kejadian itu seperti baru terjadi kemarin.  Masih ingatkah kamu sayang? Kejadian yang membuat kita terpisah dunia selama-lamanya.
Waktu itu Mama sedikit terlambat menjemput karena jalan yang macet. Sudah tak banyak lagi teman sekolahmu yang terlihat. Kau tampak mengobrol dengan seorang penjaga sekolah ketika Mama memanggilmu dari seberang jalan. Begitu melihat Mama, kau tersenyum lebar dan melambai-lambaikan tangan dengan gembira. Mama berteriak memintamu tetap di sana, menunggu Mama menyeberangi jalan. Masih dengan senyuman lebar, kau mengangguk dan berdiri di pinggir dekat pagar sekolah, di sebelahmu sebuah gerobak bakso sedang mangkal.
Tapi sungguh, ingin sekali kaki Mama melangkah cepat. Sayang jalan lumayan ramai sehingga Mama harus menunggu. Tanpa sengaja Mama menjatuhkan kunci motor dan Mamapun menunduk mengambilnya.

Mama tak tahu apa yang terjadi. Tapi suara decit mobil dan benturan keras terdengar saat itu, Mama mendongak dan pemandangan di depan Mama sudah berubah. Jantung Mama terasa bagai ditinju dengan keras. Sebuah mobil tampak menabrak gerobak bakso hingga terdorong sampai ke pagar sekolah yang sudah miring karena kerasnya benturan.

Mama menjerit, berteriak sekuatnya. Mama memanggil namamu, Mama berlari menyeberangi jalan mencarimu. Mama tak peduli meskipun beberapa mobil mengklakson mama tiba-tiba. Mama hanya ingin tahu di mana kamu, Bella sayang.

Mama menepuk-nepuk kaca mobil memintanya mundur walaupun mama melihat dengan jelas, supirnya tampak shock dan kaget. Mama berteriak memanggil namamu berulang kali tapi tak ada suara ceriamu menjawabnya seperti biasa. “Bella! Bella! Jawab Mama, sayang! Bella!”
Mobil itu mundur pelan-pelan tapi pemandangan di depan Mama membuat hati Mama remuk luar biasa. Kau di sana sayang. Duduk diam meringkuk dengan tubuh berlumuran darah. Posisimu terjepit antara gerobak bakso dan pagar. Tubuh kecilmu terhujam banyak sekali pecahan kaca dan remukan kayu.

Mama sudah berusaha mengangkat secepat mungkin gerobak itu dibantu orang-orang di sekitar kejadian itu. Ketika Mama akhirnya bisa memelukmu, tubuhmu seperti bermandikan darah. Kepalamu, hidungmu, mulutmu, kakimu bahkan jemarimu yang mungil semuanya penuh darah. Mama berusaha mencari di mana lukamu, menutupinya agar darahnya berhenti dan Mama berteriak minta tolong.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Mama berdoa dalam tangisan. Ya Allah, tolong selamatkan putriku, tolong beri aku kesempatan sekali lagi menjadi Mamanya, aku bersedia menggantikannya kalau kau mau. Ya Allah, biarkan jantung putriku berdetak sekali lagi, biarkan tubuh dinginnya menghangat kembali dan biarkan sekali lagi aku melihat senyumnya. Aku mohon ya Allah, kumohon.

Seorang perawat dan dokter menyongsong Mama, mengambilmu dari dekapan Mama. Dari kejauhan Mama melihat bagaimana mereka berusaha menolongmu. Mama terus berdoa, Bella. Percayalah anakku, Mama sudah memintanya agar Allah memberimu kesempatan bersama Mama lagi. Tapi tubuhmu tetap diam meskipun Mama melihat sendiri dokter berkali-kali melakukan berbagai cara agar jantungmu kembali berdetak sementara beberapa perawat menghentikan pendarahanmu.
Papa datang beberapa menit kemudian. Ia datang dengan wajah panik dan bingung. Saat melihat Mama, ia langsung bertanya “Bella kenapa, Ma? Bella gimana?”
Mama hanya bisa menggeleng, menahan tangis dan memeluk Papa. Tangan Mama menunjuk ke dalam di mana dokter sedang berusaha menolongmu. Papa menepuk bahu Mama, menenangkan Mama. Ia terus bertanya apa yang terjadi, tapi Mama tak sanggup menjawab pertanyaannya.
Kami menunggu sangat lama di luar UGD, Papa dan Mama duduk dengan tatapan kosong. Mama lihat bibir Papamu berkomat kamit berdoa, tangannya gemetaran meskipun ia tak menangis.  Mama juga terus berdoa dan berharap kau tetap bisa bertahan. Apapun yang terjadi, diagnosa seberat apapun yang penting kau masih bisa bersama kami. Sederhana kan permintaan kami.
Tapi ketika dokter akhirnya keluar. Wajahnya muram saat bertanya “Orangtua anak Bella?” Kami langsung berdiri dan bertanya keadaanmu. Namun dokter malah berkata “Kami sudah berusaha, Bu. Tapi Maaf Tuhan menghendaki yang lain. Keadaan Bella terlalu parah hingga putri ibu tak bisa bertahan.” Pandangan Mama langsung kabur dan semuanya gelap. Sayup-sayup Mama mendengar jerit Papa saat memeluk Mama.

Mama sadar dengan cepat dan mendapati Papa sedang memeluk Mama sambil berurai mata. Ia membujuk Mama agar kuat. “Sayang, kuatkan hatimu! Buat Bella, sayang. Ayo kuatkan hatimu!” Mama hanya bisa mengangguk karena Mama ingin melihatmu sekali lagi sebelum kau dibawa pulang ke rumah kita.

Papa mudah bicara ya Nak, tapi dia yang berubah saat  menemani Mama masuk melihatmu. Untuk pertama kali dalam hidup Mama, Mama melihat Papa kita yang pemberani dan lucu sering menggoda kita berdua hilang saat itu. Ia memelukmu dengan pelan sekali dan menangis memanggil namamu berkali-kali dengan suara lirih, Ia mengusap pipimu, membelai rambut dan menciumimu tapi kau  tetap diam. Mama jadi menangis lagi melihatnya. Mama sungguh tak tega melihat Papa tidak seperti biasanya. Ia seperti seseorang yang kehilangan cahaya mataharinya.

Kami membawamu pulang anakku, tapi juga tidak seperti biasanya. Kalau biasanya kau masuk dengan bercanda minta digendong sambil menggelitiki Papa. Kali ini kau berada dalam dekapan Papa dalam diam dan tubuh tak bergerak. Mama bahkan tak bisa berjalan sendiri, beberapa orang tetangga memapah mama saat turun dari ambulans yang sama denganmu. Wajah Papa penuh air mata meskipun tanpa suara. Ia tak malu walaupun banyak orang lain melihatnya. Papa yang selalu meledek kita setiap kali kita menangis gara-gara menonton televisi, hari itu terlihat sangat rapuh dan lemah. Berkali-kali Mama melihat Papa mengusap airmatanya dengan handuk kecil berwarna pink yang selama ini tak pernah dipakainya, hadiah kecil darimu saat ulangtahunnya. Hadiah berharga lima ribuan tapi kini bahkan tak bisa dinilai dengan uang.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Mama melihat kedua Nenek dan Kakekmu, semua Uwak, Mamangmu, Bibi-bibimu dan sepupu-sepupumu berteriak keras memanggil namamu. Tapi tak ada satupun yang kau jawab. Kau terbaring di sana, diam dengan wajah tenang dan bersih. Hati Mama hancur melihat tubuhmu saat harus memandikanmu terakhir kali. Tampak jahitan di kepalamu, tulang-tulang kakimu yang lunglai dan goresan hampir di sekujur tubuhmu seakan memberitahu Mama betapa sakitnya dirimu saat kejadian itu.

Mama hampir tak sanggup mengantarmu tetapi semua orang membantu Mama. Meskipun ingin rasanya Mama menemanimu di dalam sana, tapi Mama tahu ada Malaikat-malaikat yang menemanimu. Mama berusaha menguatkan hati agar airmata Mama tak menetes dan memberatkan langkahmu. Delapan tahun kebersamaan kita pelan-pelan berakhir ketika sejumput tanah Mama lemparkan dengan berat hati. Tubuh kecilmu pun selamanya menghilang dari kami.
Rasanya waktu berjalan sangat lambat setelahnya. Kakek dan Nenekmu memutuskan agar Mama tinggal sementara di rumah mereka sementara Papapun memilih tinggal di rumah orangtua. Kami tak sanggup melangkah masuk ke dalam rumah kita, karena terlalu banyak barang-barangmu di sana mengingat kami padamu. Papamu sudah tak sekuat dulu, sayang. Dia bahkan bisa menangis keras sekali memanggil namamu saat menemukan boneka kecil kesayanganmu. Tahukah Bella sayang? Papa menciumi boneka itu sambil menangis padahal dulu Papa selalu menolak mencium bonekamu setiap kali mau tidur. Kau bahkan harus memaksanya sambil bercanda baru ia mau melakukannya.
Bella sayang,

Mama pernah marah sekali pada Allah. Kenapa ia mengambilmu dari kami? Kami bahagia memilikimu, kami sudah berusaha menjagamu dengan baik, mendidikmu dengan baik bahkan kami membuktikannya dengan menjadikanmu anak yang manis, berprestasi juga tumbuh sebagai pribadi baik serta menyenangkan dan kau bahkan rajin beribadah. Memang sesekali Mama atau Papa suka memarahimu, tetapi itu demi kebaikanmu juga. Bella juga tahu itu kan sayang.
Tahukah Bella? Mama dan Papa menyesali tidak sempat memberimu adik yang kau inginkan. Bukannya Mama tidak mau, tetapi memang Allah belum mempercayai Mama. Sedihnya Mama, Allah justru mengambil titipannya bernama Bella. Mama jadi bertanya-tanya, apakah Mama adalah Mama yang tidak baik? Apa salah Mama? Apa salah Papa? Begitu terus pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala kami berdua.

Kami berusaha kembali pada aktivitas semula. Berusaha tetap hidup karena Papa bilang, mengingatmu terus dengan menangis hanya akan membuatmu menjadi tidak tenang. Kami tak mau itu, sayang. Karena walaupun jasad kita sudah terpisah Mama dan Papa ingin kau tetap bahagia.
Tapi bagaimana bisa anakku? Setiap kali melihat sepupumu, atau bahkan Cuma anak kecil yang lewat depan rumah nenek, Mama teringat kamu. Setiap kali kaki Mama melangkah, mama ingat kamu. Mama berusaha, Papa juga berusaha. Tapi sulit sekali sayang, sulit sekali melupakan putri kecil manis dan baik sepertimu.

Kami diminta datang ke kantor polisi memberi keterangan seputar kecelakaanmu. Dari Polisi, Mama baru tahu kau bukanlah satu-satunya korban. Si penjual bakso juga harus kehilangan kakinya karena  diamputasi. Sementara Penjaga sekolah yang berdiri di sisimu masih koma hingga saat itu. Pria itu akhirnya meninggal dunia setelah dua minggu lebih dirawat, meninggalkan istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil.

Bella sayang, yang membuat Mama lebih terkejut bahwa pelaku penabrak itu adalah seorang remaja berusia 15 tahun. Polisi bilang, anak remaja itu baru dihadiahi sebuah mobil otomatis terbaru sebagai hadiah ulang tahunnya. Kemungkinan besar ia belum terbiasa mengendarai kendaraan itu hingga mobil itu bukannya berhenti malah melonjak kaget menabrakmu. Polisi bahkan menemukan fakta yang lebih mengagetkan, ia mengendarai mobilnya sambil menjawab handphone.
Mama ingin marah pada anak itu. Papa bilang Papa sangat ingin membunuh anak itu. Tetapi sayang, apakah itu bisa membuatmu kembali pada kami? Tidak, tentu saja tidak ada gunanya. Mama pernah berjumpa dengan orangtua anak remaja itu, Mama melihat kedua orangtuanya sehancur Mama. Mereka menangis meminta maaf karena telah membuat anak mama meninggal. Tetapi Mama tak bisa sayang, sungguh tak semudah itu memaafkan orang lain.

Mama berusaha terus berusaha agar bisa memaafkan anak itu. Dia dipenjara, kehilangan kesempatan bersekolah normal dan yang lebih parah, menurut Papa, jiwa anak itu sepertinya sudah mati karena ia shock saat tahu ada dua nyawa melayang akibat dirinya. Sekarang Mama dan Papa jadi berpikir, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini?

Hari ini lima tahun hari kepergianmu, anakku sayang. Di rumah sudah tak bersisa lagi satupun barang-barangmu. Semua dibersihkan oleh keluarga besar kita sebelum Mama dan Papa kembali sebulan setelah kejadian itu. Barang-barangmu dipakai oleh anak-anak yatim di Panti Asuhan dekat rumah Nenek. Kata Mereka, lebih baik menyerahkan barang-barangmu untuk anak-anak itu daripada melihatnya membuat kami terus menangis. Tapi Nenekmu salah, Nak. Bella tidak hanya meninggalkan bekas di barang-barang peninggalan Bella. Namun Bella meninggalkan bekas mendalam di hati Mama dan Papa. Kenangan manis yang sampai kapanpun takkan pernah bisa tergantikan oleh siapapun.

Tahu tidak anakku? Berkali-kali beberapa kenalan bertanya tentangmu, ketika Mama bilang kau sudah meninggal. Mereka berkata seakan memahami bagaimana kehilanganmu, Lucunya, setelah itu mereka justru sibuk memarahi dan membentak anak-anak mereka hanya karena anak-anak itu berlari-lari di antara kami. Lalu bukannya berdoa untukmu mereka malah menyarankan kami agar punya bayi lagi menggantikanmu. Kami hanya bisa tersenyum meski hati miris mendengarnya.
Kau dengar tawa ceria itu sayang? Itu adikmu, usianya baru tiga tahun. Adik laki-laki yang manis sepertimu walaupun ia agak galak dan badung. Dia hadir setelah Mama dan Papa terus berusaha agar tetap menjalani hidup kami seperti biasa.

Yoga, adikmu bukanlah penggantimu. Ia pribadi yang lain, yang hadir dengan sifat dan karakter berbeda darimu. Yoga adalah  Yoga, sedang Bella adalah Bella. Dua anak kami yang meskipun berbeda dunia, tetaplah anak-anak kami. Kami mencintaimu dengan berbeda karena pengalaman hidup mengajari Mama dan Papa agar lebih menikmati kebersamaan. Mama berhenti bekerja, mengurus keluarga dan belajar menikmati peran Mama sesungguhnya. Mama tak ingin kehilangan momen yang dulu banyak Mama lepaskan saat bersamamu.

Tapi jangan iri pada Yoga, ya sayang. Walaupun Mama pernah kehilanganmu, Mama tetap berusaha tidak terlalu memanjakan adikmu, Mama tidak mau adikmu berakhir seperti anak laki-laki yang dipenjara karena menabrakmu. Mama akan tetap bersikap tegas agar adikmu menjadi laki-laki bertanggung jawab. Dan hal yang akan Mama ingat selalu, Mama takkan pernah mengizinkan adikmu mengendarai kendaraan apapun sampai usianya benar-benar matang. Mama takkan peduli dibilang ketinggalan zaman dan Mama tak peduli kalaupun harus repot mengantar jemput adikmu setiap hari. Mama juga akan mengajari adikmu bahwa menelepon ketika berkendara itu sangat berbahaya. Mama akan membuat adikmu paham bahwa kecerobohan seseorang bisa mengakibatkan banyak nyawa melayang, banyak keluarga menderita karena kehilangan dan bisa menyakiti dirinya sendiri.

Surat mama terlalu panjang ya, Mama akhiri dulu ya sayang karena Mama ingin bergabung dengan dua suara tawa di ruang tengah itu. Kayaknya asyik kalau seandainya kita bisa berempat bermain. Tapi Bella, Bella boleh menemani kami bermain. Meskipun Mama, Papa dan adik Yoga tidak lihat, tapi Mama yakin Bella ada bersama kami.
Sampai nanti, putriku sayang… Ingat, sampaikan terima kasih Mama pada Allah karena telah mengembalikan kebahagiaan Mama. Dan tunggu Mama di sana ya Nak, suatu hari nanti kita pasti berkumpul kembali.

Peluk cium,
Mama yang selalu mencintaimu
Readmore → surat rindu dari mama

aku terpaksa menikahinya

hanya ingin shared...
cerita ini saya kutip dari FB istri sholeha


[mohon dibaca sampai selesai, tak usah malas membacanya yah..]
Insya Allah Menginspirasi
                                                                     

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.

Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”


Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

insya allah berguna untuk diri saya sendiri ataupun untuk kita semua amin....


Readmore → aku terpaksa menikahinya