Dearest My Little Princess Bella,
Apa kabarmu sayang?
Bagaimana
di sana?
Apakah para malaikat mengurusmu dengan baik?
Apakah mereka memberimu
kebahagiaan sama seperti Mama dan Papa?
Apakah kau tak kangen pada kami?
Semoga
kau bahagia di sisi Allah, anakku sayang. Titip salam Mama dan katakan terima
kasih karena cintaNya pada kami di sini sehingga kami banyak belajar dari
kehilanganmu.
Rasanya baru kemarin ya sayang,
musibah yang merenggutmu dari pelukan Mama. Lima tahun sudah berlalu, tapi bagi
Mama kejadian itu seperti baru terjadi kemarin. Masih ingatkah kamu
sayang? Kejadian yang membuat kita terpisah dunia selama-lamanya.
Waktu itu Mama sedikit terlambat
menjemput karena jalan yang macet. Sudah tak banyak lagi teman sekolahmu yang
terlihat. Kau tampak mengobrol dengan seorang penjaga sekolah ketika Mama
memanggilmu dari seberang jalan. Begitu melihat Mama, kau tersenyum lebar dan
melambai-lambaikan tangan dengan gembira. Mama berteriak memintamu tetap di
sana, menunggu Mama menyeberangi jalan. Masih dengan senyuman lebar, kau
mengangguk dan berdiri di pinggir dekat pagar sekolah, di sebelahmu sebuah
gerobak bakso sedang mangkal.
Tapi sungguh, ingin sekali kaki Mama
melangkah cepat. Sayang jalan lumayan ramai sehingga Mama harus menunggu. Tanpa
sengaja Mama menjatuhkan kunci motor dan Mamapun menunduk mengambilnya.
Mama tak tahu apa yang terjadi. Tapi
suara decit mobil dan benturan keras terdengar saat itu, Mama mendongak dan
pemandangan di depan Mama sudah berubah. Jantung Mama terasa bagai ditinju
dengan keras. Sebuah mobil tampak menabrak gerobak bakso hingga terdorong
sampai ke pagar sekolah yang sudah miring karena kerasnya benturan.
Mama menjerit, berteriak sekuatnya.
Mama memanggil namamu, Mama berlari menyeberangi jalan mencarimu. Mama tak
peduli meskipun beberapa mobil mengklakson mama tiba-tiba. Mama hanya ingin
tahu di mana kamu, Bella sayang.
Mama menepuk-nepuk kaca mobil
memintanya mundur walaupun mama melihat dengan jelas, supirnya tampak shock dan
kaget. Mama berteriak memanggil namamu berulang kali tapi tak ada suara ceriamu
menjawabnya seperti biasa. “Bella! Bella! Jawab Mama, sayang! Bella!”
Mobil itu mundur pelan-pelan tapi
pemandangan di depan Mama membuat hati Mama remuk luar biasa. Kau di sana
sayang. Duduk diam meringkuk dengan tubuh berlumuran darah. Posisimu terjepit
antara gerobak bakso dan pagar. Tubuh kecilmu terhujam banyak sekali pecahan
kaca dan remukan kayu.
Mama sudah berusaha mengangkat
secepat mungkin gerobak itu dibantu orang-orang di sekitar kejadian itu. Ketika
Mama akhirnya bisa memelukmu, tubuhmu seperti bermandikan darah. Kepalamu,
hidungmu, mulutmu, kakimu bahkan jemarimu yang mungil semuanya penuh darah.
Mama berusaha mencari di mana lukamu, menutupinya agar darahnya berhenti dan
Mama berteriak minta tolong.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit,
Mama berdoa dalam tangisan. Ya Allah, tolong selamatkan putriku, tolong beri
aku kesempatan sekali lagi menjadi Mamanya, aku bersedia menggantikannya kalau
kau mau. Ya Allah, biarkan jantung putriku berdetak sekali lagi, biarkan tubuh
dinginnya menghangat kembali dan biarkan sekali lagi aku melihat senyumnya. Aku
mohon ya Allah, kumohon.
Seorang perawat dan dokter
menyongsong Mama, mengambilmu dari dekapan Mama. Dari kejauhan Mama melihat
bagaimana mereka berusaha menolongmu. Mama terus berdoa, Bella. Percayalah
anakku, Mama sudah memintanya agar Allah memberimu kesempatan bersama Mama
lagi. Tapi tubuhmu tetap diam meskipun Mama melihat sendiri dokter berkali-kali
melakukan berbagai cara agar jantungmu kembali berdetak sementara beberapa
perawat menghentikan pendarahanmu.
Papa datang beberapa menit kemudian.
Ia datang dengan wajah panik dan bingung. Saat melihat Mama, ia langsung
bertanya “Bella kenapa, Ma? Bella gimana?”
Mama hanya bisa menggeleng, menahan
tangis dan memeluk Papa. Tangan Mama menunjuk ke dalam di mana dokter sedang
berusaha menolongmu. Papa menepuk bahu Mama, menenangkan Mama. Ia terus
bertanya apa yang terjadi, tapi Mama tak sanggup menjawab pertanyaannya.
Kami menunggu sangat lama di luar
UGD, Papa dan Mama duduk dengan tatapan kosong. Mama lihat bibir Papamu
berkomat kamit berdoa, tangannya gemetaran meskipun ia tak menangis. Mama
juga terus berdoa dan berharap kau tetap bisa bertahan. Apapun yang terjadi,
diagnosa seberat apapun yang penting kau masih bisa bersama kami. Sederhana kan
permintaan kami.
Tapi ketika dokter akhirnya keluar.
Wajahnya muram saat bertanya “Orangtua anak Bella?” Kami langsung berdiri dan
bertanya keadaanmu. Namun dokter malah berkata “Kami sudah berusaha, Bu. Tapi
Maaf Tuhan menghendaki yang lain. Keadaan Bella terlalu parah hingga putri ibu
tak bisa bertahan.” Pandangan Mama langsung kabur dan semuanya gelap.
Sayup-sayup Mama mendengar jerit Papa saat memeluk Mama.
Mama sadar dengan cepat dan
mendapati Papa sedang memeluk Mama sambil berurai mata. Ia membujuk Mama agar
kuat. “Sayang, kuatkan hatimu! Buat Bella, sayang. Ayo kuatkan hatimu!” Mama
hanya bisa mengangguk karena Mama ingin melihatmu sekali lagi sebelum kau
dibawa pulang ke rumah kita.
Papa mudah bicara ya Nak, tapi dia
yang berubah saat menemani Mama masuk melihatmu. Untuk pertama kali dalam
hidup Mama, Mama melihat Papa kita yang pemberani dan lucu sering menggoda kita
berdua hilang saat itu. Ia memelukmu dengan pelan sekali dan menangis memanggil
namamu berkali-kali dengan suara lirih, Ia mengusap pipimu, membelai rambut dan
menciumimu tapi kau tetap diam. Mama jadi menangis lagi melihatnya. Mama
sungguh tak tega melihat Papa tidak seperti biasanya. Ia seperti seseorang yang
kehilangan cahaya mataharinya.
Kami membawamu pulang anakku, tapi
juga tidak seperti biasanya. Kalau biasanya kau masuk dengan bercanda minta
digendong sambil menggelitiki Papa. Kali ini kau berada dalam dekapan Papa
dalam diam dan tubuh tak bergerak. Mama bahkan tak bisa berjalan sendiri,
beberapa orang tetangga memapah mama saat turun dari ambulans yang sama
denganmu. Wajah Papa penuh air mata meskipun tanpa suara. Ia tak malu walaupun
banyak orang lain melihatnya. Papa yang selalu meledek kita setiap kali kita
menangis gara-gara menonton televisi, hari itu terlihat sangat rapuh dan lemah.
Berkali-kali Mama melihat Papa mengusap airmatanya dengan handuk kecil berwarna
pink yang selama ini tak pernah dipakainya, hadiah kecil darimu saat
ulangtahunnya. Hadiah berharga lima ribuan tapi kini bahkan tak bisa dinilai
dengan uang.
Semuanya berlangsung dengan cepat.
Mama melihat kedua Nenek dan Kakekmu, semua Uwak, Mamangmu, Bibi-bibimu dan
sepupu-sepupumu berteriak keras memanggil namamu. Tapi tak ada satupun yang kau
jawab. Kau terbaring di sana, diam dengan wajah tenang dan bersih. Hati Mama
hancur melihat tubuhmu saat harus memandikanmu terakhir kali. Tampak jahitan di
kepalamu, tulang-tulang kakimu yang lunglai dan goresan hampir di sekujur
tubuhmu seakan memberitahu Mama betapa sakitnya dirimu saat kejadian itu.
Mama hampir tak sanggup mengantarmu
tetapi semua orang membantu Mama. Meskipun ingin rasanya Mama menemanimu di
dalam sana, tapi Mama tahu ada Malaikat-malaikat yang menemanimu. Mama berusaha
menguatkan hati agar airmata Mama tak menetes dan memberatkan langkahmu.
Delapan tahun kebersamaan kita pelan-pelan berakhir ketika sejumput tanah Mama
lemparkan dengan berat hati. Tubuh kecilmu pun selamanya menghilang dari kami.
Rasanya waktu berjalan sangat lambat
setelahnya. Kakek dan Nenekmu memutuskan agar Mama tinggal sementara di rumah
mereka sementara Papapun memilih tinggal di rumah orangtua. Kami tak sanggup
melangkah masuk ke dalam rumah kita, karena terlalu banyak barang-barangmu di
sana mengingat kami padamu. Papamu sudah tak sekuat dulu, sayang. Dia bahkan
bisa menangis keras sekali memanggil namamu saat menemukan boneka kecil
kesayanganmu. Tahukah Bella sayang? Papa menciumi boneka itu sambil menangis
padahal dulu Papa selalu menolak mencium bonekamu setiap kali mau tidur. Kau
bahkan harus memaksanya sambil bercanda baru ia mau melakukannya.
Bella sayang,
Mama pernah marah sekali pada Allah.
Kenapa ia mengambilmu dari kami? Kami bahagia memilikimu, kami sudah berusaha
menjagamu dengan baik, mendidikmu dengan baik bahkan kami membuktikannya dengan
menjadikanmu anak yang manis, berprestasi juga tumbuh sebagai pribadi baik
serta menyenangkan dan kau bahkan rajin beribadah. Memang sesekali Mama atau
Papa suka memarahimu, tetapi itu demi kebaikanmu juga. Bella juga tahu itu kan
sayang.
Tahukah Bella? Mama dan Papa
menyesali tidak sempat memberimu adik yang kau inginkan. Bukannya Mama tidak
mau, tetapi memang Allah belum mempercayai Mama. Sedihnya Mama, Allah justru
mengambil titipannya bernama Bella. Mama jadi bertanya-tanya, apakah Mama
adalah Mama yang tidak baik? Apa salah Mama? Apa salah Papa? Begitu terus
pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala kami berdua.
Kami berusaha kembali pada aktivitas
semula. Berusaha tetap hidup karena Papa bilang, mengingatmu terus dengan
menangis hanya akan membuatmu menjadi tidak tenang. Kami tak mau itu, sayang.
Karena walaupun jasad kita sudah terpisah Mama dan Papa ingin kau tetap
bahagia.
Tapi bagaimana bisa anakku? Setiap
kali melihat sepupumu, atau bahkan Cuma anak kecil yang lewat depan rumah
nenek, Mama teringat kamu. Setiap kali kaki Mama melangkah, mama ingat kamu.
Mama berusaha, Papa juga berusaha. Tapi sulit sekali sayang, sulit sekali
melupakan putri kecil manis dan baik sepertimu.
Kami diminta datang ke kantor polisi
memberi keterangan seputar kecelakaanmu. Dari Polisi, Mama baru tahu kau
bukanlah satu-satunya korban. Si penjual bakso juga harus kehilangan kakinya
karena diamputasi. Sementara Penjaga sekolah yang berdiri di sisimu masih
koma hingga saat itu. Pria itu akhirnya meninggal dunia setelah dua minggu
lebih dirawat, meninggalkan istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil.
Bella sayang, yang membuat Mama
lebih terkejut bahwa pelaku penabrak itu adalah seorang remaja berusia 15
tahun. Polisi bilang, anak remaja itu baru dihadiahi sebuah mobil otomatis
terbaru sebagai hadiah ulang tahunnya. Kemungkinan besar ia belum terbiasa
mengendarai kendaraan itu hingga mobil itu bukannya berhenti malah
melonjak kaget menabrakmu. Polisi bahkan menemukan fakta yang lebih
mengagetkan, ia mengendarai mobilnya sambil menjawab handphone.
Mama ingin marah pada anak itu. Papa
bilang Papa sangat ingin membunuh anak itu. Tetapi sayang, apakah itu bisa
membuatmu kembali pada kami? Tidak, tentu saja tidak ada gunanya. Mama pernah
berjumpa dengan orangtua anak remaja itu, Mama melihat kedua orangtuanya
sehancur Mama. Mereka menangis meminta maaf karena telah membuat anak mama
meninggal. Tetapi Mama tak bisa sayang, sungguh tak semudah itu memaafkan orang
lain.
Mama berusaha terus berusaha agar
bisa memaafkan anak itu. Dia dipenjara, kehilangan kesempatan bersekolah normal
dan yang lebih parah, menurut Papa, jiwa anak itu sepertinya sudah mati karena
ia shock saat tahu ada dua nyawa melayang akibat dirinya. Sekarang Mama dan
Papa jadi berpikir, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini?
Hari ini lima tahun hari
kepergianmu, anakku sayang. Di rumah sudah tak bersisa lagi satupun
barang-barangmu. Semua dibersihkan oleh keluarga besar kita sebelum Mama dan
Papa kembali sebulan setelah kejadian itu. Barang-barangmu dipakai oleh
anak-anak yatim di Panti Asuhan dekat rumah Nenek. Kata Mereka, lebih baik
menyerahkan barang-barangmu untuk anak-anak itu daripada melihatnya membuat
kami terus menangis. Tapi Nenekmu salah, Nak. Bella tidak hanya meninggalkan
bekas di barang-barang peninggalan Bella. Namun Bella meninggalkan bekas
mendalam di hati Mama dan Papa. Kenangan manis yang sampai kapanpun takkan
pernah bisa tergantikan oleh siapapun.
Tahu tidak anakku? Berkali-kali
beberapa kenalan bertanya tentangmu, ketika Mama bilang kau sudah meninggal.
Mereka berkata seakan memahami bagaimana kehilanganmu, Lucunya, setelah itu
mereka justru sibuk memarahi dan membentak anak-anak mereka hanya karena
anak-anak itu berlari-lari di antara kami. Lalu bukannya berdoa untukmu mereka
malah menyarankan kami agar punya bayi lagi menggantikanmu. Kami hanya bisa
tersenyum meski hati miris mendengarnya.
Kau dengar tawa ceria itu sayang?
Itu adikmu, usianya baru tiga tahun. Adik laki-laki yang manis sepertimu
walaupun ia agak galak dan badung. Dia hadir setelah Mama dan Papa terus berusaha
agar tetap menjalani hidup kami seperti biasa.
Yoga, adikmu bukanlah penggantimu.
Ia pribadi yang lain, yang hadir dengan sifat dan karakter berbeda darimu. Yoga
adalah Yoga, sedang Bella adalah Bella. Dua anak kami yang meskipun
berbeda dunia, tetaplah anak-anak kami. Kami mencintaimu dengan berbeda karena
pengalaman hidup mengajari Mama dan Papa agar lebih menikmati kebersamaan. Mama
berhenti bekerja, mengurus keluarga dan belajar menikmati peran Mama
sesungguhnya. Mama tak ingin kehilangan momen yang dulu banyak Mama lepaskan
saat bersamamu.
Tapi jangan iri pada Yoga, ya
sayang. Walaupun Mama pernah kehilanganmu, Mama tetap berusaha tidak terlalu
memanjakan adikmu, Mama tidak mau adikmu berakhir seperti anak laki-laki yang
dipenjara karena menabrakmu. Mama akan tetap bersikap tegas agar adikmu menjadi
laki-laki bertanggung jawab. Dan hal yang akan Mama ingat selalu, Mama takkan
pernah mengizinkan adikmu mengendarai kendaraan apapun sampai usianya
benar-benar matang. Mama takkan peduli dibilang ketinggalan zaman dan Mama tak
peduli kalaupun harus repot mengantar jemput adikmu setiap hari. Mama juga akan
mengajari adikmu bahwa menelepon ketika berkendara itu sangat berbahaya. Mama
akan membuat adikmu paham bahwa kecerobohan seseorang bisa mengakibatkan banyak
nyawa melayang, banyak keluarga menderita karena kehilangan dan bisa menyakiti
dirinya sendiri.
Surat mama terlalu panjang ya, Mama
akhiri dulu ya sayang karena Mama ingin bergabung dengan dua suara tawa di
ruang tengah itu. Kayaknya asyik kalau seandainya kita bisa berempat bermain.
Tapi Bella, Bella boleh menemani kami bermain. Meskipun Mama, Papa dan adik
Yoga tidak lihat, tapi Mama yakin Bella ada bersama kami.
Sampai nanti, putriku sayang… Ingat,
sampaikan terima kasih Mama pada Allah karena telah mengembalikan kebahagiaan
Mama. Dan tunggu Mama di sana ya Nak, suatu hari nanti kita pasti berkumpul
kembali.
Peluk cium,
Mama yang selalu mencintaimu